Info Beasiswa: Beasiswa Mesir (Al Azhar)
Kategori: info Beasiswa dan studi di Al Azhar Mesir
ADALAH Khalifah Mu'iz li Dinillah Ma'adbin al Manshur (931-975 M)-khalifah keempatdari Dinasti Fatimiyah yang berkuasa di Mesir saat itu-yang mencetuskan ide mendirikan sebuah masjidsebagai pusat kebudayaan dan pendidikan Islam.Ide brilian Khalifah Mu'iz itu kemudian dikenaldengan lembaga pendidikan Al Azhar,yang hingga saat ini terus menjadi tujuan belajarpara pelajar dari seantero dunia Islam.
ADAPUN tradisi pemberian harta wakaf-baik dari kantung pribadi maupun kas negara pada lembaga pendidikan Al Azhar itu-menjadi kunci bagi kelestarian lembaga pendidikan Islam yang sudah berusia lebih dari 1.000 tahun itu. Penggagas pertama pemberian harta wakaf untuk lembaga pendidikan Al Azhar itu adalah Khalifah Al Hakim Bin Amrillah. Gagasan Khalifah Bin Amrillah itu, ternyata menjelma menjadi sebuah tradisi yang tidak hanya terbatas di Mesir, tetapi meluas ke negara-negara Islam lain.
Konon, harta wakaf milik lembaga pendidikan Al Azhar itu pernah mencapai sepertiga kekayaan negara Mesir. Dari harta wakaf itulah aktivitas lembaga pendidikan Al Azhar terus berputar, termasuk memberikan beasiswa, membangun asrama, dan pengiriman utusan Al Azhar ke berbagai penjuru dunia, bahkan mendirikan cabang-cabang Al Azhar di luar Mesir.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, semula Al Azhar menjadi pusat penyebaran paham Syi'ah, khususnya di penghujung masa Khalifah Al Mu'iz li Dinillah, yakni ketika Qadhil Qudhah Abul Hasan Ali Bin Nu'man Al-Qairawani mengajarkan fikih mazhab Syi'ah dari kitab Mukhtashar. Pelajaran kitab Mukhtashar dari Abul Hasan Ali Bin Nu'man itu merupakan pelajaran agama pertama di Masjid Al Azhar pada Oktober 975 M. Namun, sejak Shalahuddin Al Ayyubi berkuasa di Mesir pada 1171 M, kurikulum lembaga pendidikan Al Azhar diubah hampir total; dari paham mazhab Syi'ah ke mazhab Sunni yang terus berlaku hingga sekarang.
Sementara itu, pembaruan administrasi pertama Al Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sultan Ad-Dhahir Barquq pada 1382 M, dari Dinas-ti Mamalik. Ia saat itu mengangkat Bahadir At-Thawasyi sebagai direktur pertama Al Azhar. Kebijakan Sultan Ad-Dhahir itu merupakan upaya awal untuk menjadikan Al Azhar sebagai yayasan keagamaan yang terkait erat dengan pemerintah.
Pada era itu, terpilih Sheikh Muhammad Al-Khuraasyi sebagai sheikh Al Azhar pertama. Secara keseluruhan ada 40 sheikh yang telah memimpin Al Azhar selama 43 periode. Saat ini, sebagai Sheikh Al Azhar adalah mantan Mufti Nasional Mesir Sheikh Muhammad Tanthawi.
Masa keemasan Al Azhar terjadi pada abad ke-15 M, ketika banyak ilmuan dan ulama Islam bermunculan dari lembaga pendidikan Islam tertua tersebut. Misalnya, Ibnu Khaldun, Al Farisi, As Suyuthi, Al Aini, Al Khawi, Abdul Latif Al Baghdadi, Ibnu Khaliqan, Al-Maqrizi, dan lainnya, yang telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab.
***
SUARA pembaruan terhadap sistem pendidikan Al Azhar mulai muncul pada era kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir, di mana saat itu ia mulai memperkenalkan sistem pendidikan modern sekuler. Proses reorganisasi sistem pendidikan di Mesir semakin gencar pada era pemerintahan Khedive Ismail Pasha (1863-1879 M). Seiring dengan itu, sistem pendidikan tradisional yang masih diterapkan di lembaga pendidikan Al Azhar terus mendapat tekanan.
Al Azhar pun akhirnya menggeliat menyesuaikan diri dengan tuntutan pembaruan tersebut. Di antara perubahan awal yang menonjol adalah diterapkannya sistem ujian untuk mendapatkan ijazah Al Alamiyah (kesarjanaan) Al Azhar pada Februari 1872. Dan, pada 1896, untuk pertama kalinya dibentuk Idarah Al-Azhar (Dewan Administrasi).
Dewan itulah yang mengeluarkan peraturan membagi masa belajar di Al Azhar menjadi dua periode, yaitu pendidikan dasar (delapan tahun) serta pendidikan menengah dan tinggi (12 tahun). Kurikulum Al Azhar lalu diklafisikasikan dalam dua bagian, Al Ulum Al Manqulah (bidang studi agama) dan Al Ulum Al Ma'qulah (studi umum).
Muhammad Abduh (1849-1905) adalah orang yang sangat berjasa dalam proses pembaruan lebih lanjut sistem pendidikan di Al Azhar. Berkat ide pembaruannya tersebut, ilmu-ilmu modern akhirnya masuk ke dalam kurikulum Al Azhar, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah.
Memasuki abad ke-20 itu, Al Azhar semakin membentangkan cakrawalanya yang ditandai dengan kesediaannya mempelajari sistem penelitian yang diterapkan pada universitas Barat serta mengirim alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada tahun 1930, Al Azhar mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 49 Tahun 1930 tentang Aturan Sistem Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi, serta membagi Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas, yaitu Fakultas Syariah, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Bahasa Arab.
Pada tahun 1961, angin pembaruan kembali berhembus kencang di Al Azhar lewat UU No 103/1961. UU tersebut mengizinkan lulusan SD atau SMP Al Azhar melanjutkan studinya ke SMP dan SMA yang berafiliasi ke Departemen Pendidikan atau sebaliknya. Selain itu, Al Azhar-disamping fakultas-fakultas keislaman-menambah berbagai fakultas nonagama, seperti kedokteran, perdagangan, sains, pertanian, tehnik, dan farmasi. Juga untuk pertama kalinya dibuka fakultas khusus putri dengan berbagai jurusannya.
***
AL Azhar kini menerapkan model kuliah yang diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu Fakultas Ilmi (sains) dan Adaby (agama).
Untuk fakultas-fakultas Adaby (agama), jenjang studi yang dibuka meliputi program under graduate (kulliyah atau S-1) dan post graduate (dirasah ulya atau S-2 dan S-3). Masa pendidikan resmi program under graduate (S-1) selama empat tahun (kecuali Fakultas Syariah Jurusan Qanun/hukum positif yang menempuh masa studi lima tahun), sedangkan program magister (S-2) hanya menjalani masa studi dua tahun, dilanjutkan masa penulisan tesis secara terpisah.
Proses penerimaan mahasiswa program S-2 di Al Azhar dilakukan melalui tes hafalan Al Quran sebanyak delapan juz. Untuk program S-3 (doktor), selain mengajukan disertasi, juga melalui tes hafalan Al Quran sebanyak 12 juz.
Pada tahapan program under graduate (S-1), sistem pendidikan yang diterapkan memang agak ketat. Untuk bisa melanjutkan ke tingkat studi berikutnya, mahasiswa harus menyelesaikan seluruh mata kuliah pada setiap tingkat, dan hanya diperbolehkan memiliki maksimal dua sisa mata kuliah pada tingkat sebelumnya. Bagi yang memiliki sisa mata kuliah lebih dari dua, terpaksa mengulang setahun lagi pada tingkat yang sama, khusus untuk menyelesaikan mata kuliah yang tertinggal itu. Ketentuan tersebut hanya berlaku untuk tingkat I hingga III. Kesempatan mengulang itu hanya diberikan dua kali (dua tahun), untuk tingkat I hingga III tersebut. Jika pada tahun ketiga belum lulus juga, maka mahasiswa dinyatakan keluar.
Khusus tingkat IV atau terakhir, mahasiswa yang tertinggal dua mata kuliah masih diberi kesempatan mengikuti ujian gelombang kedua. Bila pada ujian gelombang kedua itu belum juga lulus, maka diharuskan mengulang setahun lagi atas dua atau satu mata kuliah yang tersisa tersebut. Mahasiswa tingkat IV diberikan kesempatan mengulang studi (bagi mahasiswa yang masih punya materi yang tertinggal) hingga empat kali atau empat tahun.
Model perkuliahan di Al Azhar mirip semi-kredit. Pelaksanaan ujiannya (saat ini) dibagi dalam dua term. Pada setiap term diujikan setengah dari total mata kuliah. Jika dalam setahun ada 14 materi kuliah, maka pada term pertama diujikan tujuh materi, sisanya diujikan pada term kedua. Sistem tersebut mulai diterapkan pada tahun akademik 1996/1997, dan hanya berlaku untuk mahasiswa program S-1.
Cara belajar di Universitas Al Azhar, khususnya fakultas keislaman, tidak banyak berubah dari dulu hingga sekarang. Mahasiswa datang, duduk, dan mendengar penjelasan dosen. Kalau ada yang tidak jelas, diberi waktu bagi para mahasiswa untuk bertanya langsung pada dosen. Memang telah diformat dalam bentuk presentasi (muhadlarah) sedemikian rupa agar mahasiswa lebih banyak memanfaatkan waktu untuk mengumpulkan informasi.
Di samping muhadlarah, para dosen telah menyusun buku pegangan mahasiswa untuk setiap mata kuliah yang akan menjadi sumber bahan ujian. Buku pegangan itu biasanya disusun sendiri oleh dosen atau panitia yang ditunjuk fakultas, dengan mengambil rujukan berbagai kitab klasik dan buku-buku modern.
Bagi mahasiswa ada kelonggaran tidak wajib hadir 100 persen dalam seluruh muhadlarah, tetapi bagi fakultas tertentu kadang ditetapkan peraturan tak boleh mengikuti ujian bagi yang tidak hadir minimal 75 persen dari jam kuliah. Bahan muhadlarah merupakan penjelasan dari buku pegangan itu, serta ditambah dengan keterangan yang berkaitan dengan materi tersebut.
Belajar di Al Azhar sangat menekankan aspek hafalan. Jika jawaban ujian melenceng jauh dari buku pegangan, maka nilainya akan berkurang. Namun, ada mata kuliah tertentu yang menuntut ketajaman analisa dan kepiawaian mengekspresikan bahasa Arab.
Universitas Al Azhar memberi dispensasi "bebas biaya pendidikan" alias gratis untuk mahasiswa fakultas keislaman. Mahasiswa tersebut hanya perlu beli buku/diktat kuliah yang diterbitkan Al Azhar dan sedikit biaya administrasi pembuatan kartu mahasiswa.
Demikianlah sekilas profil Universitas Al Azhar yang terkenal itu, dan sejumlah perguruan tinggi lainnya di Mesir (lihat: Beberapa Perguruan Tinggi Lain), yang menjadi tujuan belajar mahasiswa Indonesia sejak pra-kemerdekaan hingga kini. Saat ini tercatat sekitar 2.500 mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Mesir, sebagian besar terdaftar di Universitas Al Azhar. *
Sumber: Kompas/musthapa abd rahman
-------------------------------------------------------
ADALAH Khalifah Mu'iz li Dinillah Ma'adbin al Manshur (931-975 M)-khalifah keempatdari Dinasti Fatimiyah yang berkuasa di Mesir saat itu-yang mencetuskan ide mendirikan sebuah masjidsebagai pusat kebudayaan dan pendidikan Islam.Ide brilian Khalifah Mu'iz itu kemudian dikenaldengan lembaga pendidikan Al Azhar,yang hingga saat ini terus menjadi tujuan belajarpara pelajar dari seantero dunia Islam.
ADAPUN tradisi pemberian harta wakaf-baik dari kantung pribadi maupun kas negara pada lembaga pendidikan Al Azhar itu-menjadi kunci bagi kelestarian lembaga pendidikan Islam yang sudah berusia lebih dari 1.000 tahun itu. Penggagas pertama pemberian harta wakaf untuk lembaga pendidikan Al Azhar itu adalah Khalifah Al Hakim Bin Amrillah. Gagasan Khalifah Bin Amrillah itu, ternyata menjelma menjadi sebuah tradisi yang tidak hanya terbatas di Mesir, tetapi meluas ke negara-negara Islam lain.
Konon, harta wakaf milik lembaga pendidikan Al Azhar itu pernah mencapai sepertiga kekayaan negara Mesir. Dari harta wakaf itulah aktivitas lembaga pendidikan Al Azhar terus berputar, termasuk memberikan beasiswa, membangun asrama, dan pengiriman utusan Al Azhar ke berbagai penjuru dunia, bahkan mendirikan cabang-cabang Al Azhar di luar Mesir.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, semula Al Azhar menjadi pusat penyebaran paham Syi'ah, khususnya di penghujung masa Khalifah Al Mu'iz li Dinillah, yakni ketika Qadhil Qudhah Abul Hasan Ali Bin Nu'man Al-Qairawani mengajarkan fikih mazhab Syi'ah dari kitab Mukhtashar. Pelajaran kitab Mukhtashar dari Abul Hasan Ali Bin Nu'man itu merupakan pelajaran agama pertama di Masjid Al Azhar pada Oktober 975 M. Namun, sejak Shalahuddin Al Ayyubi berkuasa di Mesir pada 1171 M, kurikulum lembaga pendidikan Al Azhar diubah hampir total; dari paham mazhab Syi'ah ke mazhab Sunni yang terus berlaku hingga sekarang.
Sementara itu, pembaruan administrasi pertama Al Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sultan Ad-Dhahir Barquq pada 1382 M, dari Dinas-ti Mamalik. Ia saat itu mengangkat Bahadir At-Thawasyi sebagai direktur pertama Al Azhar. Kebijakan Sultan Ad-Dhahir itu merupakan upaya awal untuk menjadikan Al Azhar sebagai yayasan keagamaan yang terkait erat dengan pemerintah.
Pada era itu, terpilih Sheikh Muhammad Al-Khuraasyi sebagai sheikh Al Azhar pertama. Secara keseluruhan ada 40 sheikh yang telah memimpin Al Azhar selama 43 periode. Saat ini, sebagai Sheikh Al Azhar adalah mantan Mufti Nasional Mesir Sheikh Muhammad Tanthawi.
Masa keemasan Al Azhar terjadi pada abad ke-15 M, ketika banyak ilmuan dan ulama Islam bermunculan dari lembaga pendidikan Islam tertua tersebut. Misalnya, Ibnu Khaldun, Al Farisi, As Suyuthi, Al Aini, Al Khawi, Abdul Latif Al Baghdadi, Ibnu Khaliqan, Al-Maqrizi, dan lainnya, yang telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab.
***
SUARA pembaruan terhadap sistem pendidikan Al Azhar mulai muncul pada era kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir, di mana saat itu ia mulai memperkenalkan sistem pendidikan modern sekuler. Proses reorganisasi sistem pendidikan di Mesir semakin gencar pada era pemerintahan Khedive Ismail Pasha (1863-1879 M). Seiring dengan itu, sistem pendidikan tradisional yang masih diterapkan di lembaga pendidikan Al Azhar terus mendapat tekanan.
Al Azhar pun akhirnya menggeliat menyesuaikan diri dengan tuntutan pembaruan tersebut. Di antara perubahan awal yang menonjol adalah diterapkannya sistem ujian untuk mendapatkan ijazah Al Alamiyah (kesarjanaan) Al Azhar pada Februari 1872. Dan, pada 1896, untuk pertama kalinya dibentuk Idarah Al-Azhar (Dewan Administrasi).
Dewan itulah yang mengeluarkan peraturan membagi masa belajar di Al Azhar menjadi dua periode, yaitu pendidikan dasar (delapan tahun) serta pendidikan menengah dan tinggi (12 tahun). Kurikulum Al Azhar lalu diklafisikasikan dalam dua bagian, Al Ulum Al Manqulah (bidang studi agama) dan Al Ulum Al Ma'qulah (studi umum).
Muhammad Abduh (1849-1905) adalah orang yang sangat berjasa dalam proses pembaruan lebih lanjut sistem pendidikan di Al Azhar. Berkat ide pembaruannya tersebut, ilmu-ilmu modern akhirnya masuk ke dalam kurikulum Al Azhar, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah.
Memasuki abad ke-20 itu, Al Azhar semakin membentangkan cakrawalanya yang ditandai dengan kesediaannya mempelajari sistem penelitian yang diterapkan pada universitas Barat serta mengirim alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada tahun 1930, Al Azhar mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 49 Tahun 1930 tentang Aturan Sistem Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi, serta membagi Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas, yaitu Fakultas Syariah, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Bahasa Arab.
Pada tahun 1961, angin pembaruan kembali berhembus kencang di Al Azhar lewat UU No 103/1961. UU tersebut mengizinkan lulusan SD atau SMP Al Azhar melanjutkan studinya ke SMP dan SMA yang berafiliasi ke Departemen Pendidikan atau sebaliknya. Selain itu, Al Azhar-disamping fakultas-fakultas keislaman-menambah berbagai fakultas nonagama, seperti kedokteran, perdagangan, sains, pertanian, tehnik, dan farmasi. Juga untuk pertama kalinya dibuka fakultas khusus putri dengan berbagai jurusannya.
***
AL Azhar kini menerapkan model kuliah yang diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu Fakultas Ilmi (sains) dan Adaby (agama).
Untuk fakultas-fakultas Adaby (agama), jenjang studi yang dibuka meliputi program under graduate (kulliyah atau S-1) dan post graduate (dirasah ulya atau S-2 dan S-3). Masa pendidikan resmi program under graduate (S-1) selama empat tahun (kecuali Fakultas Syariah Jurusan Qanun/hukum positif yang menempuh masa studi lima tahun), sedangkan program magister (S-2) hanya menjalani masa studi dua tahun, dilanjutkan masa penulisan tesis secara terpisah.
Proses penerimaan mahasiswa program S-2 di Al Azhar dilakukan melalui tes hafalan Al Quran sebanyak delapan juz. Untuk program S-3 (doktor), selain mengajukan disertasi, juga melalui tes hafalan Al Quran sebanyak 12 juz.
Pada tahapan program under graduate (S-1), sistem pendidikan yang diterapkan memang agak ketat. Untuk bisa melanjutkan ke tingkat studi berikutnya, mahasiswa harus menyelesaikan seluruh mata kuliah pada setiap tingkat, dan hanya diperbolehkan memiliki maksimal dua sisa mata kuliah pada tingkat sebelumnya. Bagi yang memiliki sisa mata kuliah lebih dari dua, terpaksa mengulang setahun lagi pada tingkat yang sama, khusus untuk menyelesaikan mata kuliah yang tertinggal itu. Ketentuan tersebut hanya berlaku untuk tingkat I hingga III. Kesempatan mengulang itu hanya diberikan dua kali (dua tahun), untuk tingkat I hingga III tersebut. Jika pada tahun ketiga belum lulus juga, maka mahasiswa dinyatakan keluar.
Khusus tingkat IV atau terakhir, mahasiswa yang tertinggal dua mata kuliah masih diberi kesempatan mengikuti ujian gelombang kedua. Bila pada ujian gelombang kedua itu belum juga lulus, maka diharuskan mengulang setahun lagi atas dua atau satu mata kuliah yang tersisa tersebut. Mahasiswa tingkat IV diberikan kesempatan mengulang studi (bagi mahasiswa yang masih punya materi yang tertinggal) hingga empat kali atau empat tahun.
Model perkuliahan di Al Azhar mirip semi-kredit. Pelaksanaan ujiannya (saat ini) dibagi dalam dua term. Pada setiap term diujikan setengah dari total mata kuliah. Jika dalam setahun ada 14 materi kuliah, maka pada term pertama diujikan tujuh materi, sisanya diujikan pada term kedua. Sistem tersebut mulai diterapkan pada tahun akademik 1996/1997, dan hanya berlaku untuk mahasiswa program S-1.
Cara belajar di Universitas Al Azhar, khususnya fakultas keislaman, tidak banyak berubah dari dulu hingga sekarang. Mahasiswa datang, duduk, dan mendengar penjelasan dosen. Kalau ada yang tidak jelas, diberi waktu bagi para mahasiswa untuk bertanya langsung pada dosen. Memang telah diformat dalam bentuk presentasi (muhadlarah) sedemikian rupa agar mahasiswa lebih banyak memanfaatkan waktu untuk mengumpulkan informasi.
Di samping muhadlarah, para dosen telah menyusun buku pegangan mahasiswa untuk setiap mata kuliah yang akan menjadi sumber bahan ujian. Buku pegangan itu biasanya disusun sendiri oleh dosen atau panitia yang ditunjuk fakultas, dengan mengambil rujukan berbagai kitab klasik dan buku-buku modern.
Bagi mahasiswa ada kelonggaran tidak wajib hadir 100 persen dalam seluruh muhadlarah, tetapi bagi fakultas tertentu kadang ditetapkan peraturan tak boleh mengikuti ujian bagi yang tidak hadir minimal 75 persen dari jam kuliah. Bahan muhadlarah merupakan penjelasan dari buku pegangan itu, serta ditambah dengan keterangan yang berkaitan dengan materi tersebut.
Belajar di Al Azhar sangat menekankan aspek hafalan. Jika jawaban ujian melenceng jauh dari buku pegangan, maka nilainya akan berkurang. Namun, ada mata kuliah tertentu yang menuntut ketajaman analisa dan kepiawaian mengekspresikan bahasa Arab.
Universitas Al Azhar memberi dispensasi "bebas biaya pendidikan" alias gratis untuk mahasiswa fakultas keislaman. Mahasiswa tersebut hanya perlu beli buku/diktat kuliah yang diterbitkan Al Azhar dan sedikit biaya administrasi pembuatan kartu mahasiswa.
Demikianlah sekilas profil Universitas Al Azhar yang terkenal itu, dan sejumlah perguruan tinggi lainnya di Mesir (lihat: Beberapa Perguruan Tinggi Lain), yang menjadi tujuan belajar mahasiswa Indonesia sejak pra-kemerdekaan hingga kini. Saat ini tercatat sekitar 2.500 mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Mesir, sebagian besar terdaftar di Universitas Al Azhar. *
Sumber: Kompas/musthapa abd rahman
-------------------------------------------------------
0 Comments:
Post a Comment
<< Home