Scholarship Information   Jobs Vacancy Information   Lowongan Kerja  
Your Ad Here



:: BEASISWA SEKOLAH INDONESIA :: 11.10.2006

Info Beasiswa: Tips Mencari Beasiswa Luar-Negeri

Kategori: Tips berburu Beasiswa luar negeri

Berburu Beasiswa ke Luar Negeri (2)

MENDAPATKAN beasiswa ke luar negeri tidaklah sulit, asalkan memiliki persiapan diri yang matang dan tahu caranya. Tidak jarang seseorang yang sebenarnya berpotensi, ternyata gagal mendapatkan beasiswa karena tidak tahu cara mendapatkannya. Ada juga yang mempunyai potensi, tetapi tidak berani mencoba karena tidak bisa memenuhi salah satu syarat yang ditentukan. Misalnya karena mempunyai indeks prestasi kumulatif (IPK) di bawah yang disyaratkan. Padahal, harus disadari benar bahwa penentuan seseorang berhak mendapatkan beasiswa tidak hanya dari satu sisi saja, tetapi dilihat dari keseluruhan potensi yang ada pada dirinya.

Salah satu contoh beasiswa yang tidak terlalu menitikberatkan pada IPK adalah Fulbright yang dike-lola Aminef (American-Indonesian Exchange Foundation, situs: www.usembassyjakarta. org/aminef). Dalam pengumumannya, Fulbright memang menulis IPK minimal 2,75 dari skala 4, namun hal ini tidak mutlak. Jika seseorang memiliki IPK di bawah 2,75, namun bisa menunjukkan dirinya berpotensi untuk mendapatkan beasiswa itu, maka dia tetap mempunyai peluang. Begitu juga dengan siswa-siswa yang tidak mempunyai IPK tinggi, namun mempunyai prestasi di bidang lain seperti musik, olahraga, melukis dan sebagainya tetap mempunyai kesempatan mendapatkan beasiswa.


***

BELAJAR di negeri orang dengan beasiswa tentu berbeda dari jika membayar sendiri. Dengan beasiswa, maka ada tuntutan menyelesaikan studi dengan batas waktu terpendek. Oleh karena itu, siswa dituntut benar-benar menyiapkan diri tidak saja untuk menghadapi persoalan pendidikan, tetapi juga masalah psikologis yang kerap muncul jika harus beradaptasi di suatu lingkungan yang benar-benar berbeda. Entah itu masalah gegar budaya atau kangen pada keluarga di rumah.

Walaupun beasiswa mengatakan akan memberikan biaya pendidikan dan biaya hidup, namun harus diteliti benar seberapa besar biaya yang diberikan. Bukan tidak mungkin penerima beasiswa harus memakai uang sendiri untuk keperluan itu. Fulbright misalnya, hanya menganggarkan 23.000 dollar AS untuk setiap penerima. Bila biaya yang diperlukan melebihi angka itu, maka penerima beasiswa harus menambahnya sendiri. Fulbright juga tidak memberikan biaya kursus bahasa Inggris dan tidak ada tunjangan keluarga.

Namun, ada juga lembaga yang memberikan beasiswa dengan biaya agak longgar. Contohnya program Australian Development Scholarships (ADS, situs: www.adsjakarta.or.id) yang diberikan Pemerintah Australia. Beasiswa ini tersedia setiap tahun untuk studi S2 dan S3 di Australia. Program ADS juga memberikan bantuan untuk biaya hidup keluarga dan pelatihan bahasa Inggris sebelum keberangkatan.

Sejak tahun 2001, beberapa beasiswa juga bisa didapatkan di The Indonesian Internatio-nal Education Foundation (IIEF, email: ifp@iief.or.id atau iief@indo.net.id) melalui program International Fellowships Program. Program ini lebih difo-kuskan bagi anggota masyarakat yang kurang memiliki kesempatan menempuh pendidikan tinggi, antara lain penduduk dari daerah terpencil, masyarakat adat, masyarakat terpinggirkan atau masyarakat di daerah konflik atau pascakonflik. Para calon juga harus memiliki toleransi tinggi dan pemahaman terhadap aneka ragam perbedaan agama, suku, ras, politik, dan sebagainya.

Bidang yang ditawarkan meliputi pengembangan masyarakat, pendidikan tinggi dan keilmuan, media, seni dan kebudayaan, perdamaian dan keadilan sosial, yang mencakup, namun tidak terbatas pada bidang-bidang studi seperti agama, antropologi, lingkungan dan pembangunan, ekonomi, kesehatan, hukum, ilmu sosial, kajian wanita (jender, kesehatan reproduksi, pemberdayaan). Mereka yang terpilih sebagai penerima beasiswa program IFP akan mengikuti orientasi persiapan yang meliputi pelatihan bahasa, komputer dan adaptasi budaya sebelum melanjutkan studinya.


***

DIREKTUR Aminef Sri Pamoedjo Rahardjo mengatakan, ada tujuh syarat yang harus dipenuhi pelamar beasiswa. Pertama, jarang sekali ada beasiswa diberikan untuk lulusan SMU atau lulusan sarjana (S1) yang tidak mempunyai pengalaman bekerja. Jadi, beasiswa hanya diberikan kepada lulusan S1 yang telah bekerja minimal dua tahun. Kedua, umur maksimal 35 tahun dengan maksud agar punya waktu cukup panjang untuk mendarmabaktikan ilmunya.

Ketiga, pendidikan di Amerika membutuhkan skor Test of English for Foreign Language (TOEFL) minimal 550. Angka ini hanya indikasi saja tentang kemampuan dalam berbahasa Inggris di dalam struktur, pemahaman, mendengar, dan sebagainya. "Yang perlu diingat, skor ini tidak menjamin kandidat penerima beasiswa itu memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Inggris," tegas Pamoedjo.

Menurut Pamoedjo, setiap jurusan pendidikan memiliki syarat TOEFL berbeda-beda. "Ada jurusan yang menuntut skor TOEFL lebih tinggi, misalnya jurusan yang banyak memakai buku teks seperti lingustik, hukum, ekonomi, dan psikologi. Jurusan-jurusan tersebut menuntut siswa sering membaca dan menulis, sehingga TOEFL yang disyaratkan tidak lagi 550 tetapi 600," kata Pamoedjo.

Ilmu-ilmu di bidang eksakta tidak terlalu memerlukan buku teks, dia lebih memerlukan praktik di laboratorium. Jadi, bila TOEFL-nya minim, tidak terlalu masalah. Pamoedjo mengaku mengenal seorang doktor yang sudah dua tahun di Amerika, namun sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. "Selama dia di Amerika, dia selalu bekerja sendiri di laboratorium. Jadi, jangan heran ada TOEFL yang lebih rendah diterima sementara TOEFL yang lebih tinggi tidak diterima, tergantung jurusan yang diambil," tandas Pamoedjo.

Keempat, pengalaman bergabung dalam organisasi di komunitas seperti lembaga swadaya masyarakat, masjid, karang taruna, gereja, senat mahasiswa dan sebagainya juga akan menjadi pertimbangan juri. "Terlebih dia tidak hanya menjadi pengikut, tetapi menjadi pengurus. Keterlibatan di masyarakat sangat penting untuk melihat bagaimana nanti dia akan mempraktikkan ilmunya," tegas Pamoedjo.

Kelima, pengalaman dalam mengeluarkan pendapat dalam tulisan dan diterbitkan. Tidak menjadi persoalan apakah tulisan itu terbit di harian umum atau di majalan internal. "Jika dia seorang dosen, tetapi tidak pernah menulis maka dia tidak akan dianggap mempunyai potensi. Juri akan melihatnya sebagai pribadi yang tidak punya keinginan meningkatkan kualitas dirinya," kata Pamoedjo.

Keenam, dan ini yang terpenting, para kandidat akan diminta menulis di satu atau dua lembar kertas dengan jarak satu spasi tentang mengapa dia mengambil beasiswa di negara itu dan mengapa subyek tersebut yang diambilnya. "Syarat ini paling penting. Biasanya harus ditulis berdasarkan latar belakang studi dan pekerjaannya. Misalnya, kualitas anak lulusan sastra harus mempunyai penulisan yang lebih baik. Dari tulisan tersebut akan terlihat sampai di mana pemahamannya akan minat tersebut," ujarnya.

Ketujuh, upaya mendapatkan informasi tentang minat terhadap bidang studi tertentu juga akan menjadi pertimbangan. Misalnya, seorang kandidat bisa menjawab dengan cepat universitas mana yang akan ditujunya dan mengapa. "Misalnya dia ingin mengambil jurusan psikologi di universitas A karena dia tahu di universitas itu ada dosen paling bagus. Informasi seperti ini sangat mudah didapat di Internet, namun memerlukan upaya dan kemauan melakukannya. Jadi, dia harus benar-benar siap mengambil beasiswa, bukan sekadar ingin ke luar negeri," tandas Pamoedjo. (ARN)

Sumber: Kompas
-------------------------------------------------------

0 Comments:

Post a Comment

<< Home